MIMBARPUBLIK.COM, Jakarta – Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang mempertanyakan pola komunikasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pertanyaan tersebut disampaikan Junimart terkait dengan banyaknya tumpang tindih dan kepastian hukum kepemilikan tanah, diantaranya kasus tanah rakyat di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara yang tiba-tiba diklaim menjadi tanah hutan, padahal tanah tersebut sudah bersertifikat lebih 20 tahun.
“Nah, ini bagaimana komunikasi antara Kementerian ATR/BPN dengan KLHK? Ini tolong dibangun komunikasinya, karena kita sudah sepakat juga dengan Komisi IV, untuk melakukan rapat gabungan. Kecuali kalau Pak Menteri mengatakan bahwa sudah ada komunikasi supaya tidak tumpang tindih tanah, kasian masyarakat Pak,” kata Junimart, dalam Rapat Kerja Komisi II dengan Menteri ATR/BPN, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin, (21/11/2022).
Politikus PDIP itu menjelaskan, sesuai perintah Presiden Joko Widodo tentang kepastian hukum pertanahan bahwa sertifikat Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah dokumen tertinggi dan paling istimewa, yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat.
Farkta di lapangan lanjutnya, sertifikat ini kerap kalah dengan Peraturan Menteri (Permen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Ternyata kepastian hukum di masyarakat bawah, yang dilindungi negara, bisa dikalahkan oleh Permen, Pak. Tiba-tiba mereka sudah menetapkan patok kawasan hutan. Padahal itu sudah sertifikat. Sementara Pak Jokowi mengatakan sertifkat adalah dokumen tertinggi dan paling istimewa bisa menyejahterakan masyarakat. Dengan adanya sertifikat itu bisa minta pinjaman ke bank. Nah, dengan adanya kawasan hutan, bank tidak mau terima, Pak. Ini sudah kejadian Pak Menteri,” ungkapnya.
Junimart menjelaskan, mengenai kasus pertanahan di Kabupaten Batubara ini sudah dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPD tingkat I (provinsi) dan tingkat II (kabupaten/kota). Bahkan, juga sudah dikirimkan surat ke kementerian terkait tapi belum mendapatkan tanggapan.
“Belum di daerah lain, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat. Jadi, hampir seluruh Indonesia Pak, selalu berbicara tentang Hak Guna Usaha (HGU). Yang notabenenya itu HGU menjadi kewenangan dari Kementerian LHK untuk menerbitkan. Tetapi kan masalahnya masyarakat tidak mau tahu, tahunya sertifikat keluar dari BPN. Jadi, mereka selalu menuntut BPN, Pak,” ujarnya.
Junimart menduga yang menjadi pemicu dari kasus ini adalah oknum pekerja PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di daerah tersebut, yang diduga mengekspansi tanah di luar HGU.
“Sumber pemicu itu tentu PTPN-nya, Pak. Mereka punya 100 hektare, ini kan fakta di lapangan, mereka tidak pergunakan 100 hektare, untuk menghindari pajak. Mereka pergunakan 50 hektare. Tetapi mereka ekspansi keluar, Pak. Bahkan lebih luas, mereka ambil dari luar. Itulah tanah masyarakat. Ini menjadi fakta, kalau itu diukur ulang, saya yakin bahwa mereka betul-betul mengambil tanah rakyat. Ini perlu menjadi perhatian Pak Menteri, supaya Pak Menteri juga bisa turun langsung ke lapangan. Hampir di seluruh Indonesia begitu,” pungkasnya.