MIMBARPUBLIK.COM, Jakarta – Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI) dideklarasikan pertama kali pada 20 Mei 2018 di Kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta. Dengan SK Menkumham NOMOR AHU-0008467.AH.01.07.TAHUN 2018.
“FKMTI ini deklarasinya pada 20 Mei 2018 di Kampus UI (Universitas Indonesia) Salemba, Jakarta, dalam memperingati 20 tahun reformasi” ucap Ketua Umum FKMTI, Supardi Kendi Budiardjo saat berbincang-bincang dengan Mimbarpublik.com via telpon seluler, Minggu (21/2/2021).
Ketum FKMTI menjelaskan, karena banyak korban mafia tanah seluruh indonesia, sehingga kami bergabung dan bersatu untuk memperjuangkan hak kami.
“Kalau mafia ini jaringannya luas, uangnya banyak dan bekingnya pun banyak. Sehingga kekuatan itu membuat korban tidak berkutik. Kesimpulannya adalah bahwa mafia tanah itu sudah masuk dalam kebijakan,” kata Budi.
Budi mengungkapkan aksi-aksi yang dilakukan mafia tanah dalam merampas memiliki pola yang tak jauh berbeda satu dan lainnya. Mafia tanah kerap menggunakan jalur peradilan dengan modal alas hak yang sebenarnya berbeda untuk mengklaim suatu bidang tanah yang diincarnya. Polanya sama, mendalilkan hak di tempat lain untuk mengklaim di lokasi yang ingin dirampas.
“Perlu dijelaskan lagi, aksi mafia tanah bukanlah sengketa tanah. Karena sengketa tanah hanya terjadi jika terdapat dua ahli waris memperebutkan satu bidang tanah,” jelasnya.
Namun, kata Budi, pola yang dilakukan mafia tanah merupakan perampasan. Hal ini lantaran mafia tanah umumnya tidak memiliki hubungan apapun dengan pemilik.
Budi mendorong para korban mafia tanah dan masyarakat untuk melengkapi dokumen dan menyusunnya secara rapi agar mudah dipahami. Tanpa kelengkapan dokumen membuat masyarakat yang awam hukum kerap kalah di pengadilan. Kalaupun menang, seringkali masyarakat tetap kesulitan untuk kembali mengurus hak kepemilikannya.
“FKMTI rencananya akan roadshow ke Universitas-Universitas di Indonesia untuk mengungkap pola penyelesaian perampasan tanah ini. Bagi masyarakat atau korban perampasan tanah yang ingin melapor silahkan kunjungi website resmi FKMTI : www.fkmti.com dengan mencantumkan nama daerah yang bermasalah,” katanya.
Sementara, Sekjen FKMTI Agus Muldya menambahkan, dalam 2,5 tahun ini FKMTI terus mensosialisasikan bahwa perampasan tanah ini bukan hanya kejahatan terhadap individu tetapi pada akhirnya akan semakin nyata mengganggu investasi bahkan perekonomian nasional.
“Oleh karenanya, adu data itu adalah cara yangg cepat dan paling mendasar untuk menyelesaikan persoalan perampasan tanah ini. Sehingga institusi yang menolak pola ini dilaksanakan boleh jadi diindikasi sebagai cara halus memgganjal perintah presiden di rapat terbatas, 3 Mei 2019 dan diakhir 2020. Tetapi mungkin terindikasi ada oknum kaki tangan mafia perampas tanah rakyat,” paparnya.
Apalagi, kata Agus, pak Dino Patty Djalal sendiri menyatakan bahwa sangat mungkin yang ketangkap di kasus yang mengerjai ibundanya baru ditingkatan kolonel. Dan tidak mungkin juga perintah berantas mafia perampas tanah dari Presiden Jokowi ini hanya khusus untuk kasus yang menimpa pak Dino saja. Sehingga sudah selayaknya kasus perampasan tanah yang lainnya juga di tuntaskan.
“Dan ini sebagai bagian dari perjuangan reformasi di bidang pertanahan yang belum selesai. Sehingga luar biasa jika di era pak Jokowi hal ini bisa dituntaskan, setelah dimulai dengan program reforma agraria juga sertifikasi tanah rakyat dengan Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL),” pungkasnya.
Tim Redaksi