MIMBARPUBLIK.COM, JAKARTA – FKMTI menilai pengakuan Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil yang menyebutkan ada oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang terlibat dalan jaringan mafia perampas tanah sangat terlambat, karena FKMTI sudah melaporkan sejak dua tahun lalu. Sofyan Djalil diminta mundur jika tak berani memecat anak buahnya yang terlibat mafia tanah. Demikian dikatakan Ketua FKMTI SK Budiardjo, Jumat (12/11), pagi, di Jakarta.
“FKMTI bahkan sudah berkali-kali menyebut nama petinggi BPN yang terlibat dalam mafia tanah, saat melapor 10 kasus perampasan tanah di hadapan pejabat kementerian ATR/BPN. Tapi laporan para korban mafia tanah tidak ditindaklanjuti. Ketika itu Menteri justru mengatakan bahwa itu bukan kasus mafia tanah, tapi kasus pemalsuan sertifikat. Menteri tidak mau mengungkap mafia tanah kelas kakap yang bisa menyulap tanah milik rakyat menjadi sertifikat konglomerat, walaupun tidak jelas warkah tanahnya,” tegas SK Budiardjo penuh rasa jengkel.
“Kami sudah lapor 2 tahun lalu dan kami juga ungkapkan nama oknum pejabat BPN yang diduga jadi mafia tanah. Modusnya serupa, tidak jelas warkah tanahnya, tetapi Oknum pejabat BPN bisa terbitkan sertifikat di atas tanah milik korban. Tidak mungkin mafia tanah bisa menerbitkan sertifikat asli tanpa tanda tangan pejabat BPN. Kalau menteri baru tahu sekarang bahwa modus oknum BPN bisa menghilangkan warkah, ini tidak masuk akal untuk sekelas beliau sebagai Menteri BPN. Masa Menteri Telmi, telat mikir!” lanjutnya.
Budi menambahkan, oknum pejabat BPN berani melanggar aturan dengan menerbitkan sertifikat saat tanah dalam status sita jaminan pengadilan. Namun, pejabat BPN kerap melempar tanggung jawab saat para korban perampasan tanah menanyakan warkah tanah, sehingga bisa terbit sertifikat atas nama pihak lain di atas tanah milik mereka. Biasanya Pejabat BPN menyuruh korban untuk menggugat di pengadilan.
“Namun ketika sudah menang di pengadilan, bahkan sampai inkrah di MA, korban perampasan tetap tak bisa mendapatkan hak atas tanahnya. Intinya oknum Pajabat BPN berpihak kepada mafia tanah untuk membuktikan dugaan tersebut FKMTI siap membuka data di depan publik.”
“Perampasan tanah beda dengan sengketa. Perampasan tanah jelas tindak pidana. Bagaimana mungkin bisa terbit sertifikat tanpa warkah yang jelas dan bisa terbit HGB saat sita jamin pengadilan seperti yang dialami Rusli di BSD Serpong, bisa terbit HGB untuk sebuah perusahaan tetapi perusahaannya baru ada lima tahun kemudian? Jadi mudah menelusuri tindak pidana perampasan tanah ini, cukup adu data proses kepemilikan tanah,” jelasnya.
“Perintah Presiden memberantas mafia tanah berserta bekingnya hanya isapan jempol belaka, tak akan terlaksana jika menteri ATR/BPN lebih takut kepada mafia tanah dari pada Presiden. Presiden Jokowi perlu menerbitkan Perppu untuk menyelesaikan dan mencegah semakin masifnya perampasan tanah. Perppu ini perlu dibuat agar siapapun yang menjadi menteri ATR tidak bisa lagi berlindung di peraturan lama yang menguntungkan mafia tanah seperti soal warkah. Kalau pak Menteri kesulitan memberantas mafia tanah undang FKMTI. Kami akan tunjuk hidung pelakunya baik di lingkungan oknum BPN maupun yg lain,” tandasnya.